SEJARAH SINGKAT DESA RAGAWACANA
Ragawacana berasal dari dua kata, yaitu “Raga dan Wacana”. Raga berarti badan, tubuh atau awak dalam bahasa Sunda, dan Wacana mengandung arti cerita atau kabar atau citra dalam bahasa Sunda, pengertian tersebut diambil dari satu cerita atau legenda tentang berdirinya Desa Ragawacana, karena dulunya bukan Desa Ragawacana melainkan suatu perkampungan yang mempunyai nama “Pidara” atau “Bale Are” yang belum mempunyai struktur pemerintahan dan masyarakatnya masih menempati gua di hulu.
Pada abad ke-15 atau kira-kira tahun 1500 M, lewatlah satu rombongan yang dipimpin oleh Ki Gedeng Cigugur melewati perkampungan tersebut dengan menaiki kereta berkuda dan tujuan Cirebon yang bermaksud untuk mengikuti upacara yang diselenggarakan oleh para wali di Gunung Jati karena haul (tidak bisa disebutkan), kereta kuda yang ditumpangi oleh Ki Gedeng Cigugur mengalami kecelakaan dan mengakibatkan Ki Gedeng Cigugur terjungkal hingga pingsan di antara perkampungan (Bale Are), maka dari salah seorang pengawal rombongan tersebut melanjutkan perjalanan menuju Cirebon untuk mengabarkan hal itu kepada Sunan Gunung Jati yang sedang sibuk dan sedang ada di sidangannya, dan dengan kabar tersebut Sunan Gunung Jati memerintahkan supaya utusan dari Cirebon tersebut yang telah berada di Bale Are segera menolong Ki Gedeng Cigugur, dan singkat cerita akhirnya Ki Gedeng Cigugur sehat kembali dan akhirnya Ki Gedeng Cigugur membuka perkampungan Bale Are sedangkan batu tua atau sentinanya masih ke persidangan.
Dengan perjalanan waktu perkampungan yang awal mulanya bernama Bale Are menjadi Ragawacana, masih di tahun itu (±1500 M) datanglah seorang utusan dari Cirebon ke Ragawacana dengan membawa perintah supaya untuk menyebarkan ajaran agama Islam di tempat itu. Utusan tersebut merupakan keturunan Ki Gedeng Ragawacana kemudian membentuk sistem pemerintahan/perkampungan yang akhirnya dibagi dalam beberapa wilayah atau kuwu, yaitu: Pajambon, Gandasoli, Cibentang dan Gunungkeling. Namun karena tuntutan dan perkembangan jaman, keempat wilayah tersebut dilebur kembali menjadi Desa Ragawacana.
Ki Gedeng Ragawacana mempunyai tujuh orang anak yang secara turun temurun meneruskan kepemimpinan di wilayah Ragawacana tersebut, sehingga sampai sekarang itu ketujuh keturunan Ki Gedeng Ragawacana tersebut disebut “Luhur Desa Ragawacana” ketujuh orang itu adalah:
- Raden Mustopa
- Tuan Tengah
- Tuan Sadamaya
- Niti Putih
- Niti Sara
- Wana Guru
- Ki Gedeng Panaragan
Mereka menerima tampuk kepemimpinan hingga akhir tahun 1700 M, karena adanya perubahan sistem pemerintahan yaitu Kademangan hingga akhir tahun 1800 M. Pada akhirnya mulai tahun 1801 M sampai sekarang, pemerintahan di Desa Ragawacana dikapali oleh seorang “Kuwu”. Berikut nama-nama yang pernah menjabat sebagai Kuwu di Desa Ragawacana, dan susunan keturunan kuwu yang ada di wilayah Ragawacana:
- kuwu suwun (1800-1840)
- Kuwu Rundeng (1840-1858)
- Kuwu JudaDwangsa (1858-1861)
- Kuwu Anggadikrama (1861-1862)
- Kuwu Nataikrama (1862-1881)
- Kuwu Selat Djajesasmita (1861-1917)
- Kuwu Sastra Santana (1917-1919)
- Kuwu DjajaSesmita (1919-1920)
- Kuwu sastra santana (1920-1923)
- Kuwu Prawira Sasmita (1923-1928)
- Kuwu Singa Wilastra (1928-1928)
- Kuwu Amir (1928-1931)
- Kuwu WiryaSuminta (1931-1933)
- Kuwu Kamasasmita (1933-1946)
- Bulan Gila (1946-1948)
- Kuwu Wirya Sasminta (1948-1940)
- Kuwu Sumarta Disastra (1949-1967)
- Kuwu Widjaja Prawira (1967-1973)
- Kuwu M. Rachmanudin (1073-1989)
- Kuwu Dedi Djutiana (1989-1998)
- Kuwu Udju Juhaen (1996-2007)
- Kuwu sutini (2007-2019)
Lampiran: